
Beberapa pekan setelah Salman Aristo mengirim naskah kumpulan puisinya, kami di Edraflo memutuskan untuk melakukan brainstorm besar. Semua ikut: saya sebagai editor/kurator, Gede sebagai publisher, Rudi sebagai desainer, Davro sebagai ilustrator, dan tentu saja Salman Aristo sebagai pemilik puisi. Apa tujuan sesi itu? Hanya satu, yaitu menyelami RASA yang ada dari kumpulan puisi tersebut. Berusaha memahami apa sesungguhnya INTENSI Salman Aristo menyodorkan puisi ke publik.
Karena pada dasarnya kami bukanlah sastrawan atau penyair, meski saya sendiri pernah menerbitkan buku kumpulan puisi bertajuk Bukan atas Nama Cinta, maka kami merasa perlu rembukan serius untuk berupaya memahami apa rasa yang ingin disampaikan Salman Aristo melalui puisi-puisinya. Lebih jauh, kami juga perlu memetakan, berdasarkan konteks, puisi-puisi tersebut jatuh dalam kategori apa saja. Terutama dari segi tema yang dibicarakan.
Soal intensi, jelas Salman Aristo ingin berbagi keresahan. Dan memperpanjang umur film dengan melakukan alih medium. Apa pun, intensinya murni bersumber dari alam pikir kreatif. Keinginan untuk berbagi ekspresi.
Setelah diskusi kurang lebih 2 jam, tentu saja sembari makan pizza dan minum kopi, kami akhirnya sepakat, kumpulan puisi Salman Aristo akan dibagi dalam 2 kategori besar yang diberi sub-judul Delapan Depa dan Premis Hujan. Kategori pertama berisi puisi yang ditulis sebagai respon atau perpanjangan bentuk dari film-film yang dia tonton. Sementara kategori kedua berisi puisi yang dia tulis dengan diksi dari dunia perfilman. Kedua kategori itu, menurut kami, unik dan segar.

Hari itu, brainstorm kami tak berhenti di sana. Kami lanjut. Delapan Depa kemudian dibelah lagi menjadi 4 kategori tema. Meski hari itu pemetaan belum bisa detail menunjuk tiap puisi masuk ke kategori apa, setidaknya kami sudah punya gambaran umum yang kemudian bisa jadi pegangan bekerja. Semacam kerangka pikir yang solid. Keempat kategori tema dalam Delapan Depa adalah isu sosial, feminisime, mental health, dan pertikaian. Entah ini sastra atau tidak, kami jelas tidak peduli. Yang kami yakini, pada saat itu, meletakkan puisi-puisi dalam kategori yang jernih akan sangat membantu audiens memahami pesan yang ingin disampaikan Salman Aristo. Bagaimana pun, dia adalah seorang jurnalis. Baginya, film, buku, maupun puisi adalah medium pembawa pesan.

Demikianlah. Hari itu pizza dan kopi terbukti produktif. Perut kenyang dan kami pun rampung memetakan isi buku ini. Di kepala saya, jelas tergambar apa pekerjaan selanjutnya: memasukkan semua ini ke dalam sebuah naskah utuh. Karena proses penyusunan buku ini sejak awal sangat kolaboratif, artinya saya, Tim Edraflo, dan Salman Aristo selalu rembukan untuk segala sesuatunya, maka kami pun sepakat, akan ada sesi lanjutan untuk memetakan semua ke dalam urutan yang pas. Demi kenikmatan audiens buku ini saat membaca nantinya.