Hujan turun merata di Jakarta dan Tangerang Selatan. Namun situasi itu tak menyurutkan langkah orang-orang yang berminat tatap muka dan diskusi soal puisi. Jadilah mereka menggelinding menembus cuaca dingin, sedikit basah-basahan, dan hadir di Earhouse yang merupakan “rumah” kreatif milik Endah N Rhesa di bilangan Pamulang. Dan jelas mereka tidak menyesal!
Sekitar pukul 20.30 WIB, sesi peluncuran buku dan diskusi dimulai. Endah jadi pemandu, langsung menodong Salman Aristo yang baru tiba untuk membeberkan kisah hidupnya hingga bisa melahirkan buku kumpulan reflreksi puisi bertajuk Film Bisa Dieja yang diterbitkan Edraflo. Seperti biasa, Salman bercerita bagai sungai mengalir. Mulai dari pengalaman perdana nonton bioskop di usia yang amat muda, hingga persentuhannya dengan puisi di sekolah yang berujung dadakan ikut lomba dan… Jadi juara! Bagi Salman, film bioskop adalah cinta pertamanya. Namun puisi adalah karya seni pertama yang dia lahirkan.
Keberlanjutan Seni
Salman juga menceritakan bagaimana film demi film memantik keresahan yang sudah lama bersemayan dalam pikirannya dan kemudian merembes, mengalir jadi baris demi baris puisi. Tidak berhenti di situ, dia juga mengisahkan sudut pandang unik, memilih kata-kata yang lekat dalam dunia perfilman untuk disusun-rombak jadi puisi yang khas. Otentik. Betul-betul terasa ditulis oleh seorang penulis naskah, sutradara, dan produser film Indonesia sekaliber dia.
Selanjutnya giliran Davro memaparkan bagaimana proses kreatifnya menginterpretasi puisi jadi serangkaian ilustrasi bergaya visual Saul Bass. Disusul dengan Rudi yang menjelaskan proses “menjahit” seluruh komponen yang semulai centang perenang jadi sebuah buku utuh yang punya “sosok”. Bagi siapa pun yang menghadiri sesi ini, dipastikan wawasan dan pemahaman mereka soal proses kreatif, keberlanjutan seni, dan tahapan menyusun sebuah buku akan langsung bertambah dalam waktu singkat.
Interpretasi Dadakan
Sesi diskusi di Earhouse malam itu ditutup dengan menu yang sama otentiknya: interpretasi puisi jadi lagu secara dadakan oleh Songwriting’s Club! Ya, tanpa informasi sebelumnya, anggota klub menulis lagu tersebut mendadak menulis lagu dengan puisi-puisi dalam buku Film Bisa Dieja jadi liriknya. Dari 6 penampil, akhirnya terpilih 2 sebagai “pemenang”. Apa pun, tentu saja bukan itu tujuannya. Sesi ini adalah bentuk lain dari keberlanjutan seni. Sebuah ideologi yang kini diusung dan lekat dengan sosok buku Film Bisa Dieja.
Demikianlah. Buku Film Bisa Dieja sudah lahir dan direspon publik. Dari Earhouse, buku ini dijadwalkan terus menggelinding dalam sesi tatap muka yang intim dan intens. 28 Desember nanti, kalau tiada aral melintang, sesi diskusi kembali digelar dalam bagian acara mili Patjar Merah di Pos Bloc, Jakarta. Yuk, hadir dan diskusi. Bersama melanjutkan seni agar mengalir sampai jauh.